Rabu, 09 September 2020

Pembagian Hukuman Ta'zir

 PEMBAGIAN HUKUMAN TA’ZIR

Menurut Imam Mawardi bahwa yang dimaksud dengan Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa (maksiat) yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’. Hukuman ta’zir ini diserahkan kepada hakim untuk mengaturnya.

Syara’ tidak menyebutkan macam-macamnya hukuman untuk jarimah untuk tiap-tiap jarimah  ta’zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari seringan-ringannya sampai kepada seberat beratnya. Dalam hal ini hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman mana yang sesuai dengan hukuman ta’zir serta keadaan si pembuatnya juga. Jadi hukuman ta’zir tidak mempunyai batas tertentu.[1] jenis-jenis hukuman ta’zir ini sebagai berikut:

a.      Hukuman Mati

Menurut Sayyid Sabiq, sebagian ulama memperbolehkannya dan sebagian yang lain melarangnya. Sedangkan bagi Hanafiah, pada prinsipnya tidak diperbolehkan menerapkan hukum bunuh. Namun apabila kejahatan atau pelanggaran itu dilakukan berulang-ulang, atas dasar pertimbangan kemaslahatan, maka pembunuhan dapat diterapkan.

Mengenai masalah ta‘zīr dengan pembunuhan ini, Wahbah Al-Zuhaylī mengulasnya secara panjang lebar dengan sub judul al-ta‘zīr bi al-qaṭl siyāsah. Wahbah Al-Zuhaylī juga menjelaskan dengan mengutip pendapat ahli fikih Hanafiah dan Malikiyah yang memperbolehkan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana yang berulang kali melakukan kejahatan yang sama. Ada kesan kuat, orang yang seperti ini tidak hendak bertaubat dan juga tidak tersadar dengan keburukan yang dilakukannya. Contohnya adalah mereka yang melakukan liwāṭ. Demikian juga dengan pencuri yang melakukan praktik pencurian secara berulang-ulang. Atau segala bentuk kejahatan yang tidak bisa dihentikan kecuali dengan dijatuhi hukum bunuh. Untuk jenis yang seperti ini disebut dengan istilah al-qaṭl siyāsatan, hukuman mati karena dalam pandangan hakim terdapat kemaslahatan yang kuat dan luas bagi masyarakat jika hukuman yang dijatuhkan adalah hukuman mati. Pertimbangannya tentu saja agar masyarakat tidak mencontoh perbuatan tersebut. [2]

Terdapat ikhitilāf di kalangan ulama tentang hukuman bagi orang Islam yang menjadi mata-mata (spionase) musuh Islam. Ulama Malikiyah dan Hanabilah serta yang lainnya, memperbolehkan menjatuhkan hukuman bunuh terhadap pengkhianat tersebut. Alasannya dampak yang dihasilkannya cukup merugikan bahkan mencelakakan umat Islam. Namun sebagian ulama lainnya, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i, tidak memperbolehkannya.

Baik Sayyid Sabiq ataupun Wahbah Al-Zuhayli tidak menjelaskan dalil-dalil yang mereka gunakan dalam membahas sub masalah ini secara lebih rinci. Sayid Sabiq mengutip pendapat Ibn Abidin yang membolehkan ta‘zīr lewat hukuman mati. Sedangkan Wahbah mengutip pendapat Al-Qadi ‘Iyad yang menyebutkan wajib membunuh muslim apabila menghina Nabi Muhammad sebagaimana firman Allah Swt di dalam surat Al-Ahzab ayat 33. Tampaknya lewat ayat ini dipahami bahwa menghina atau menyakiti Nabi termasuk ke dalam kategori Ta‘zīr. Kendatipun tidak begitu jelas batasan dan ukuran yang disebut dengan menyakiti Nabi tersebut.[3]

b.      Hukuman Jilid (Cambuk)

Hukuman jilid (cambuk) merupakan hukuman pokok dalam syariat Islam. Untuk jarimah hudud, hanya ada beberapa jarimah yang dikenai hukuman jilid seperti zina, qadzaf, dan minum khamar. Untuk jarimah-jarimah ta’zir bisa diterapkan dalam berbagai jarimah. Bahkan untuk jarimah-jarimah ta’zir yang berbahaya, hukuman jilid lebih diutamkan sebab:

1.      Hukuma jilid lebih banyak berhasil dalam memberantas para penjahat yang telah bisasa melakukan tindak pidana

2.      Hukuman jilid mempunyai dua batas, yaitu bats tertinggi dan batas terendah, sehingga hakim bisa memilih jumlah jilid yang ada diantara kedua hukuman tersebut yang lebih sesuai dengan eadaan pelaku jarimah.

3.      Biaya untuk pelaksanaannya tidak merepotkan keuangan negara. Disamping itu hukuman ini tidak akan mengganggu kegiatan usaha orang yang terhukum, sehingga keluarga tidak terlantar, karena hukuman jilid bisa dilaksanakan seketika dan setelah itu terhukum bisa bebas.

4.      Dengan hukuman jilid, pelaku dapat terhindar dari akibat-akibat buruk hukuman penjara, seperti rusaknya akhlak dan kesehatan[4]

Hukuman jilid untuk ta’zir ini tidak boleh melebihi hukuman jilid dalam hudud. Hanya saja mengenai batas masimalnya tidak ada kesepakatan dilkalangan fuqaha. Hal ini oleh karena hukuman had dalam jarimah hudud itu berbeda-beda antara satu jarimah dengan jarimah lainnya. Zina hukunan jilidnya 100 kali, qadzaf hukumannya 80 kali cambuk, sedangkan syurbul khamar (meminum khamar) ada yang mengatakan 40 kali ada pula yang mengatakan 80 kali.

Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad, batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir adalah 39 kali, sedangkan menurut Imama Abu Yusuf adalah 75 kali. Pendapat-pendapat tersebut juga diikuti oleh sebagian fuqaha Syafi’iyah dan Hanbaliah. Dikalangan madzab Syafi’i ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa hukuman jilid dalam ta’zir boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak boleh melebihi 100 kali.

Dikalangan madzab Hanbali ada lagi tambahan dua pendapat, disamping tiga pendapat tersebut. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa hukuman jilid yang diancamkan atas suatu perbuatan tidak boleh menyamai hukuman had yang dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi boleh melebihi hukuman jarimah yang tidak sejenis. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa hukuman jilid dalam ta’zir tidak boleh lebih dari sepuluh kali cambukan karena ada hadits yang menyatakan demikian.[5]

Dari kalangan ulama madzab yang empat hanya ulama-ulama Malikiyah yang berbeda pendapatnya. Menurut mereka hukumnya jilid dalam ta’zir sepenuhnya diserahan kepada hakim, sehingga apabila hakim memandang perlu hukuman jilid ini boleh lebih dari 100 kali. Dengan demikian menurut Malikiyah, tidak ada batas tertentu untuk hukuman ta’zir yang berupa jilid dan penguasa (hakim) bisa menjatuhkan hukuman yang lebih banyak apabila dipandang perlu demi kemaslahatan masyarakat.

c.       Hukuman Kawalan (Penjara kurungan)

Dalam Syariat Islam ada dua macam hukuman kawalan. Yaitu hukuman kawalan terbatas dan hukuman kawalan tidak terbatas. Pengertian terbatas dan tidak terbatas dalam konteks ini adalah dari segi waktu.

Hukuman kawalan terbatas ini paling sedikit adalah satu hari sedangkan batas tertingginya tidak ada kesepakatan dikalangan para fuqaha. Ulama-ulama Syafi’iyah menetapkan batas tertingginya adalah satu tahun. Mereka mengiaskan hukuman ini dengan hukuman pengasingan dalam jarimah zina. Fuqaha yang lain menyerahkan batas tertinggi tersebut kepada penguasa negara (hakim)

Hukuman kawalan tidak terbatas tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan dapat berlangsung terus sampai terhukum mati atau melakukan taubat dan pribadinya menjadi baik. orang yang dikenai hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya, atau orang-orang yang berulang-ulang melakukan jarimah yang berbahaya.[6]

d.      Hukuman Pengasingan (at-Taghrib wa al-Ib’ad)

Hukuman pengasingan merupakan salah satu jenis hukuman ta’zir dalam jarimah zina ghairu muhshan, Imam Abu Hanifah menggagapnya sebagai hukuman ta’zir, tetapi imam-imam yang lain memandangnya sebagai hukuman had. Untuk jarimah-jarimah selain zina, hukuman ini diterapkan apabila perbuatan pelaku dapat menjalar atau merugikan orang lain.

Masa pengasingan dalam jarimah ta’zir, menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, tidak boleh lebih dari satu tahun, agar tidak melebihi masa pengasingan dalam jarimah zina yang merupakan hukuman had. Sedangan menurut Imam Abu Hanifah, masa pengasingan bisa lebih dari satu tahun, sebab pengasingan di sini merupakan hukuman ta’zir, bukan hukuman had. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Malik. Akan tetapi, mereka tidak mengemukakan batas waktunya dan menyerahkan hal itu kepada pertimbangan penguasa (hakim).[7]

e.       Hukuman Salib

Hukuman salib untuk jarimah ta’zir tidak dibarengi atau didahului dengan hukuman mati, melainkan terhukum disalib dalam keadaan hidup. Ia (terhukum) tidak dilarang untuk makan, minum, wudlu, dan shalat dengan isyarat. Mas penyaliban ini tidak boleh lebih dari tiga hari. Diantara sumber hukumnya dalah sunnah fi’liyah, dimana nabi pernah menjatuhkan hukuman salib sebagai ta’zir yang dilakukan disuatu pegunungan Abu Nab.[8]

f.        Hukuman Pengucilan (Al-Hajr)

Hukuman pengucilan sebagai hukuman ta’zir terdapat dalam QS. An-Nisa (4): 34, yang berbunyi:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا  (٣٤)  

Artinya:

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Hukuman pengecualian ini dijatuhkan terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan tertentu.

Hukuman pengecualian ini pernah dilaksanakan oleh Rosulullah saw. Terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka’ab ibn Malik, Mirarah ibn Rubai’ah, dan Hilal ibn Umayyah. Mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpa diajak bicara. Akhirnya turunlah firman Allah dalam Surah At-Taubah (9): 118

وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّىٰ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَن لَّا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُواۚ إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ  (١١٨) 

Artinya:

Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

Khalifah Umar ra. juga pernah melaksanakan hukuman pengucilan terhadap Dhabi’i disamping hukuman jilid dan pengasingan. ditempat pengasingannya itu ia tidak boleh diajak bicara oleh siapapun sampai ia taubat. Kemudian, penguasa negeri dimana ia diasingkan menulis surat kepada khalifah Umar yang menceritakan tentang taubatnya. Akhirnya ia diizinkan untuk bergaul dengan masyarakat.

g.      Hukuman Ancaman (Tahdid), Teguran (Tanbih), dan Peringatan

Ancaman merupakan salah satu hukuman ta’zir, dengan syarat akan membawa hasil dan bukan ancaman kosong. Contohnya seperti ancaman akan dijilid atau dipenjara, atau dijatuhi hukuman yang lebih berat, apabila pelaku mengulangi perbuatannya. Termasuk juga ancaman apabila hakim menjatuhkan keputusannya, kemudian pelaksanaannya ditunda sampai waktu tertentu.

Selain ancaman, teguran, dan peringatan, juga merupakan hukuman ta’zir yang dapat dijatuhkan oleh hakim, apabila dipandang perlu. Hal ini pernah dilaksanakan oleh Rasulullah saw terhadap Abu Zar dan Abdurrahman bin ‘Auf.[9]

h.      Hukuman Denda (Al-Gharamah)

Hukuman denda juga merupakan salah satu jenis hukuman ta’zir. Diantara jarimah yang diancam dengan hukuman denda adalah pencurian buah-buahan yang masih ada dipohonnya. Dalam hal ini pelaku tidak dikenakan hukuman potong tangan, melainkan didenda dengan dua kali lipat harga buah-buahan yang diambil disamping hukuman lain yang sesuai. Hal ini dijelaskan dalam hadits Nabi saw.

وَ عَنْ عَمْرِ وَبْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدَّهِ قَالَ: سُئِلَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَاٰلِهِ وَسَلَّمَ عَنِ الثَّمَرِ الْمُعَلَّقِ فَقَالَ مَنْ أَصَابَ مِنْهُ بِفِيْهِ مِن ذِى حَاجَةٍ غَيْرِ مُتَّخِذٍ خُبْنَةً فَلَا شَىْءَ عَلَيْهِ وَمَنْ خَرَجَ بِشَيْءٍ فَعَلَيْهِ غَرَامَةُ مِثْلَيْهِ وَ الْعُقُوْبَةُ.....(رواه النّسائِى و أبو داود)

Artinya:

Dari ‘Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ia berkata: Rasulullah saw ditanya tentang pencurian buah-buahan yang masih menggantung dipohonnya maka beliau menjawab, “Barangsiapa yang mengambilnya untuk dimakan, karena sangat membutuhkan tanpa disembunyikan (disimpan) maka ia tidak dikenakan apa-apa.dan barang siapa yang keluar dengan membawa sesuatu maka ia dikenakan denda sebanyak dua kali barang yang diambilnya beserta hukuman lain... (HR An-Nasa’i dan Abu Daud)

Hukaman denda yang dikenakan terhadap orang yang menyembunyikan barang yang hilang. Dan juga terhadap orang yang menolak membayar zakat, dengan diambil separuh dari hartanya.[10] Contoh lain diberlakukan hukuman denda yaitu penjatuhan hukuman denda bagi orang yang duduk di bar, mencuri buah-buahan dari pohonnya, atau mencuri kambing sebelum sampai penggembalaannya

Para fuqaha masih berbeda pendapat tentang digunakannya denda sebagai hukuman umum untuk setiap jarimah. Sebagian ada yang membolehkan dan sebagian lagi tidak membolehkannya. Diantara ulama yang membolehkan adalah Imam Abu Yusuf , Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Ahmad. Sedangkan yang tidak membolehkannya adlah Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad bin Hasan.[11]

i.        Hukuman-hukuman lain

Hukuman-hukuman ta’zir yang telah dikemukakan diatas adalah merupakan hukuman-hukaman yang paling penting, yang mungkin diterapkan untuk semua jenis jarimah ta’zir. Akan tetapi, disamping itu masih ada hukuman-hukuman lain yang sifatnya spesifik yang tidak bisa diterapkan pada setiap jarimah ta’zir. Diantara hukuman tersebut adalah pemecatan dari jabatan atau pekerjaan, perampasan alat-alat yang digunakan untuk melakukan jarimah dan lain-lain.[12]



[1] Ahmad Hanafi, Asas - Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1990), 8

[2] Wahbah Al-Zuhaylī,  Al-Fiqh al-Islāmī Wa Adillatuhu (Bairut: Dar al-Fikr, 1997), 5596.

[3] Azhari Akmal Tarigan, “Ta‘zīr dan Kewenangan Pemerintah dalam Penerapannya”,  Jurnal Ilmu Syariah AHKAM, Vol. 17, No.1, (2017), 163.

[4] Abdul Qadir Audah, al-Tashri’ al-Jina’i al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wad’i Juz. 1, Cet. Ke-2 (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1992), 690.

[5] Ahmad Hanafi, Asas - Asas Hukum Pidana Islam., 305-306.

[6] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah) (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 159.

[7] Abdul Qadir Audah, al-Tashri’ al-Jina’i al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wad’i Juz. 1., 699.

[8] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah.,, 160.

[9] Ahmad Hanafi, Asas - Asas Hukum Pidana Islam., 315.

[10] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), 162.

[11] Ibid.

[12] Ibid., 163.

SOAL LATIHAN OLIMPIADE PAI MATERI AL-QUR'AN HAITS TINGKAT SMP/MTs - 2

  Berdoalah sebelum belajar, semoga Allah memberi kemudahan dalam memahami materi   1.       Perhatikan QS Al-Mujadilah/58: 11 berikut i...