PEMBAGIAN HUKUMAN TA’ZIR
Menurut Imam Mawardi bahwa yang dimaksud dengan Ta’zir adalah
hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa (maksiat) yang hukumannya
belum ditetapkan oleh syara’. Hukuman ta’zir ini diserahkan kepada hakim untuk
mengaturnya.
Syara’ tidak menyebutkan macam-macamnya hukuman untuk jarimah untuk
tiap-tiap jarimah ta’zir, tetapi hanya
menyebutkan sekumpulan hukuman, dari seringan-ringannya sampai kepada seberat
beratnya. Dalam hal ini hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman
mana yang sesuai dengan hukuman ta’zir serta keadaan si pembuatnya juga. Jadi
hukuman ta’zir tidak mempunyai batas tertentu.[1]
jenis-jenis hukuman ta’zir ini sebagai berikut:
a.
Hukuman Mati
Menurut Sayyid Sabiq, sebagian ulama memperbolehkannya dan sebagian
yang lain melarangnya. Sedangkan bagi Hanafiah, pada prinsipnya tidak
diperbolehkan menerapkan hukum bunuh. Namun apabila kejahatan atau pelanggaran
itu dilakukan berulang-ulang, atas dasar pertimbangan kemaslahatan, maka
pembunuhan dapat diterapkan.
Mengenai masalah ta‘zīr dengan pembunuhan ini, Wahbah Al-Zuhaylī
mengulasnya secara panjang lebar dengan sub judul al-ta‘zīr bi al-qaṭl
siyāsah. Wahbah Al-Zuhaylī juga menjelaskan dengan mengutip pendapat ahli
fikih Hanafiah dan Malikiyah yang memperbolehkan hukuman mati bagi pelaku
tindak pidana yang berulang kali melakukan kejahatan yang sama. Ada kesan kuat,
orang yang seperti ini tidak hendak bertaubat dan juga tidak tersadar dengan
keburukan yang dilakukannya. Contohnya adalah mereka yang melakukan liwāṭ.
Demikian juga dengan pencuri yang melakukan praktik pencurian secara
berulang-ulang. Atau segala bentuk kejahatan yang tidak bisa dihentikan kecuali
dengan dijatuhi hukum bunuh. Untuk jenis yang seperti ini disebut dengan
istilah al-qaṭl siyāsatan, hukuman mati karena dalam pandangan hakim
terdapat kemaslahatan yang kuat dan luas bagi masyarakat jika hukuman yang
dijatuhkan adalah hukuman mati. Pertimbangannya tentu saja agar masyarakat
tidak mencontoh perbuatan tersebut. [2]
Terdapat ikhitilāf di kalangan ulama tentang hukuman bagi orang
Islam yang menjadi mata-mata (spionase) musuh Islam. Ulama Malikiyah dan
Hanabilah serta yang lainnya, memperbolehkan menjatuhkan hukuman bunuh terhadap
pengkhianat tersebut. Alasannya dampak yang dihasilkannya cukup merugikan
bahkan mencelakakan umat Islam. Namun sebagian ulama lainnya, Imam Abu Hanifah
dan Imam Syafi’i, tidak memperbolehkannya.
Baik Sayyid Sabiq ataupun Wahbah Al-Zuhayli tidak menjelaskan
dalil-dalil yang mereka gunakan dalam membahas sub masalah ini secara lebih
rinci. Sayid Sabiq mengutip pendapat Ibn Abidin yang membolehkan ta‘zīr lewat
hukuman mati. Sedangkan Wahbah mengutip pendapat Al-Qadi ‘Iyad yang menyebutkan
wajib membunuh muslim apabila menghina Nabi Muhammad sebagaimana firman Allah
Swt di dalam surat Al-Ahzab ayat 33. Tampaknya lewat ayat ini dipahami bahwa
menghina atau menyakiti Nabi termasuk ke dalam kategori Ta‘zīr. Kendatipun
tidak begitu jelas batasan dan ukuran yang disebut dengan menyakiti Nabi
tersebut.[3]
b.
Hukuman Jilid
(Cambuk)
Hukuman jilid (cambuk) merupakan hukuman pokok dalam syariat Islam.
Untuk jarimah hudud, hanya ada beberapa jarimah yang dikenai hukuman jilid
seperti zina, qadzaf, dan minum khamar. Untuk jarimah-jarimah ta’zir bisa
diterapkan dalam berbagai jarimah. Bahkan untuk jarimah-jarimah ta’zir yang
berbahaya, hukuman jilid lebih diutamkan sebab:
1.
Hukuma jilid
lebih banyak berhasil dalam memberantas para penjahat yang telah bisasa
melakukan tindak pidana
2.
Hukuman jilid
mempunyai dua batas, yaitu bats tertinggi dan batas terendah, sehingga hakim
bisa memilih jumlah jilid yang ada diantara kedua hukuman tersebut yang lebih
sesuai dengan eadaan pelaku jarimah.
3.
Biaya untuk
pelaksanaannya tidak merepotkan keuangan negara. Disamping itu hukuman ini
tidak akan mengganggu kegiatan usaha orang yang terhukum, sehingga keluarga
tidak terlantar, karena hukuman jilid bisa dilaksanakan seketika dan setelah
itu terhukum bisa bebas.
4.
Dengan hukuman
jilid, pelaku dapat terhindar dari akibat-akibat buruk hukuman penjara, seperti
rusaknya akhlak dan kesehatan[4]
Hukuman jilid untuk ta’zir ini tidak boleh melebihi hukuman jilid
dalam hudud. Hanya saja mengenai batas masimalnya tidak ada kesepakatan
dilkalangan fuqaha. Hal ini oleh karena hukuman had dalam jarimah hudud itu
berbeda-beda antara satu jarimah dengan jarimah lainnya. Zina hukunan jilidnya
100 kali, qadzaf hukumannya 80 kali cambuk, sedangkan syurbul khamar
(meminum khamar) ada yang mengatakan 40 kali ada pula yang mengatakan 80 kali.
Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad, batas tertinggi hukuman
jilid dalam ta’zir adalah 39 kali, sedangkan menurut Imama Abu Yusuf adalah 75
kali. Pendapat-pendapat tersebut juga diikuti oleh sebagian fuqaha Syafi’iyah
dan Hanbaliah. Dikalangan madzab Syafi’i ada lagi pendapat yang mengatakan
bahwa hukuman jilid dalam ta’zir boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak boleh
melebihi 100 kali.
Dikalangan madzab Hanbali ada lagi tambahan dua pendapat, disamping
tiga pendapat tersebut. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa hukuman jilid
yang diancamkan atas suatu perbuatan tidak boleh menyamai hukuman had yang
dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi boleh melebihi hukuman
jarimah yang tidak sejenis. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa hukuman jilid
dalam ta’zir tidak boleh lebih dari sepuluh kali cambukan karena ada hadits
yang menyatakan demikian.[5]
Dari kalangan ulama madzab yang empat hanya ulama-ulama Malikiyah
yang berbeda pendapatnya. Menurut mereka hukumnya jilid dalam ta’zir sepenuhnya
diserahan kepada hakim, sehingga apabila hakim memandang perlu hukuman jilid
ini boleh lebih dari 100 kali. Dengan demikian menurut Malikiyah, tidak ada
batas tertentu untuk hukuman ta’zir yang berupa jilid dan penguasa (hakim) bisa
menjatuhkan hukuman yang lebih banyak apabila dipandang perlu demi kemaslahatan
masyarakat.
c.
Hukuman Kawalan
(Penjara kurungan)
Dalam Syariat Islam ada dua macam hukuman kawalan. Yaitu hukuman
kawalan terbatas dan hukuman kawalan tidak terbatas. Pengertian terbatas dan
tidak terbatas dalam konteks ini adalah dari segi waktu.
Hukuman kawalan terbatas ini paling sedikit adalah satu hari
sedangkan batas tertingginya tidak ada kesepakatan dikalangan para fuqaha.
Ulama-ulama Syafi’iyah menetapkan batas tertingginya adalah satu tahun. Mereka
mengiaskan hukuman ini dengan hukuman pengasingan dalam jarimah zina. Fuqaha
yang lain menyerahkan batas tertinggi tersebut kepada penguasa negara (hakim)
Hukuman kawalan tidak terbatas tidak ditentukan masanya terlebih
dahulu, melainkan dapat berlangsung terus sampai terhukum mati atau melakukan
taubat dan pribadinya menjadi baik. orang yang dikenai hukuman ini adalah
penjahat yang berbahaya, atau orang-orang yang berulang-ulang melakukan jarimah
yang berbahaya.[6]
d.
Hukuman
Pengasingan (at-Taghrib wa al-Ib’ad)
Hukuman pengasingan merupakan salah satu jenis hukuman ta’zir dalam
jarimah zina ghairu muhshan, Imam Abu Hanifah menggagapnya sebagai hukuman
ta’zir, tetapi imam-imam yang lain memandangnya sebagai hukuman had. Untuk
jarimah-jarimah selain zina, hukuman ini diterapkan apabila perbuatan pelaku
dapat menjalar atau merugikan orang lain.
Masa pengasingan dalam jarimah ta’zir, menurut ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah, tidak boleh lebih dari satu tahun, agar tidak melebihi masa
pengasingan dalam jarimah zina yang merupakan hukuman had. Sedangan menurut
Imam Abu Hanifah, masa pengasingan bisa lebih dari satu tahun, sebab
pengasingan di sini merupakan hukuman ta’zir, bukan hukuman had. Pendapat ini
juga dikemukakan oleh Imam Malik. Akan tetapi, mereka tidak mengemukakan batas
waktunya dan menyerahkan hal itu kepada pertimbangan penguasa (hakim).[7]
e.
Hukuman Salib
Hukuman salib untuk jarimah ta’zir tidak dibarengi atau didahului
dengan hukuman mati, melainkan terhukum disalib dalam keadaan hidup. Ia
(terhukum) tidak dilarang untuk makan, minum, wudlu, dan shalat dengan isyarat.
Mas penyaliban ini tidak boleh lebih dari tiga hari. Diantara sumber hukumnya
dalah sunnah fi’liyah, dimana nabi pernah menjatuhkan hukuman salib sebagai
ta’zir yang dilakukan disuatu pegunungan Abu Nab.[8]
f.
Hukuman
Pengucilan (Al-Hajr)
Hukuman pengucilan sebagai hukuman ta’zir terdapat dalam QS.
An-Nisa (4): 34, yang berbunyi:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ
بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْۚ فَالصَّالِحَاتُ
قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُۚ وَاللَّاتِي
تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
وَاضْرِبُوهُنَّۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًاۗ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
(٣٤)
Artinya:
Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya
Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Hukuman pengecualian ini
dijatuhkan terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan tertentu.
Hukuman
pengecualian ini pernah dilaksanakan oleh Rosulullah saw. Terhadap tiga orang yang
tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka’ab ibn Malik, Mirarah ibn
Rubai’ah, dan Hilal ibn Umayyah. Mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpa
diajak bicara. Akhirnya turunlah firman Allah dalam Surah At-Taubah (9): 118
وَعَلَى
الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّىٰ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ
بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَن لَّا مَلْجَأَ
مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُواۚ إِنَّ اللَّهَ
هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (١١٨)
Artinya:
Dan terhadap tiga orang
yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi
sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula
terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari
dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat
mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Khalifah
Umar ra. juga pernah melaksanakan hukuman pengucilan terhadap Dhabi’i disamping
hukuman jilid dan pengasingan. ditempat pengasingannya itu ia tidak boleh
diajak bicara oleh siapapun sampai ia taubat. Kemudian, penguasa negeri dimana
ia diasingkan menulis surat kepada khalifah Umar yang menceritakan tentang
taubatnya. Akhirnya ia diizinkan untuk bergaul dengan masyarakat.
g.
Hukuman Ancaman
(Tahdid), Teguran (Tanbih), dan Peringatan
Ancaman merupakan salah satu hukuman ta’zir, dengan syarat akan
membawa hasil dan bukan ancaman kosong. Contohnya seperti ancaman akan dijilid
atau dipenjara, atau dijatuhi hukuman yang lebih berat, apabila pelaku
mengulangi perbuatannya. Termasuk juga ancaman apabila hakim menjatuhkan
keputusannya, kemudian pelaksanaannya ditunda sampai waktu tertentu.
Selain ancaman, teguran, dan peringatan, juga merupakan hukuman
ta’zir yang dapat dijatuhkan oleh hakim, apabila dipandang perlu. Hal ini
pernah dilaksanakan oleh Rasulullah saw terhadap Abu Zar dan Abdurrahman bin
‘Auf.[9]
h.
Hukuman Denda (Al-Gharamah)
Hukuman denda juga merupakan salah satu jenis hukuman ta’zir.
Diantara jarimah yang diancam dengan hukuman denda adalah pencurian buah-buahan
yang masih ada dipohonnya. Dalam hal ini pelaku tidak dikenakan hukuman potong tangan,
melainkan didenda dengan dua kali lipat harga buah-buahan yang diambil
disamping hukuman lain yang sesuai. Hal ini dijelaskan dalam hadits Nabi saw.
وَ عَنْ عَمْرِ
وَبْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدَّهِ قَالَ: سُئِلَ رَسُوْلُ اللّٰهِ
صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَاٰلِهِ وَسَلَّمَ عَنِ الثَّمَرِ الْمُعَلَّقِ فَقَالَ
مَنْ أَصَابَ مِنْهُ بِفِيْهِ مِن ذِى حَاجَةٍ غَيْرِ مُتَّخِذٍ خُبْنَةً فَلَا
شَىْءَ عَلَيْهِ وَمَنْ خَرَجَ بِشَيْءٍ فَعَلَيْهِ غَرَامَةُ مِثْلَيْهِ وَ
الْعُقُوْبَةُ.....(رواه النّسائِى و أبو داود)
Artinya:
Dari ‘Amr ibn
Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ia berkata: Rasulullah saw ditanya tentang
pencurian buah-buahan yang masih menggantung dipohonnya maka beliau menjawab,
“Barangsiapa yang mengambilnya untuk dimakan, karena sangat membutuhkan tanpa
disembunyikan (disimpan) maka ia tidak dikenakan apa-apa.dan barang siapa yang
keluar dengan membawa sesuatu maka ia dikenakan denda sebanyak dua kali barang
yang diambilnya beserta hukuman lain... (HR An-Nasa’i dan Abu Daud)
Hukaman denda yang dikenakan terhadap orang yang menyembunyikan
barang yang hilang. Dan juga terhadap orang yang menolak membayar zakat, dengan
diambil separuh dari hartanya.[10] Contoh
lain diberlakukan hukuman denda yaitu penjatuhan hukuman denda bagi orang yang
duduk di bar, mencuri buah-buahan dari pohonnya, atau mencuri kambing sebelum
sampai penggembalaannya
Para fuqaha masih berbeda pendapat tentang digunakannya denda
sebagai hukuman umum untuk setiap jarimah. Sebagian ada yang membolehkan dan
sebagian lagi tidak membolehkannya. Diantara ulama yang membolehkan adalah Imam
Abu Yusuf , Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Ahmad. Sedangkan yang tidak
membolehkannya adlah Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad bin Hasan.[11]
i.
Hukuman-hukuman
lain
Hukuman-hukuman ta’zir yang telah dikemukakan diatas adalah
merupakan hukuman-hukaman yang paling penting, yang mungkin diterapkan untuk
semua jenis jarimah ta’zir. Akan tetapi, disamping itu masih ada
hukuman-hukuman lain yang sifatnya spesifik yang tidak bisa diterapkan pada
setiap jarimah ta’zir. Diantara hukuman tersebut adalah pemecatan dari jabatan
atau pekerjaan, perampasan alat-alat yang digunakan untuk melakukan jarimah dan
lain-lain.[12]
[1] Ahmad Hanafi, Asas
- Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1990), 8
[2] Wahbah
Al-Zuhaylī, Al-Fiqh al-Islāmī Wa
Adillatuhu (Bairut: Dar al-Fikr, 1997), 5596.
[3] Azhari Akmal
Tarigan, “Ta‘zīr dan Kewenangan Pemerintah dalam Penerapannya”, Jurnal Ilmu Syariah AHKAM, Vol. 17,
No.1, (2017), 163.
[4] Abdul Qadir
Audah, al-Tashri’ al-Jina’i al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wad’i
Juz. 1, Cet. Ke-2 (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1992), 690.
[5] Ahmad Hanafi, Asas
- Asas Hukum Pidana Islam., 305-306.
[6] Ahmad Wardi
Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah) (Jakarta:
Sinar Grafika, 2004), 159.
[7] Abdul Qadir
Audah, al-Tashri’ al-Jina’i al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wad’i
Juz. 1., 699.
[8] Ahmad Wardi
Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah.,, 160.
[9] Ahmad Hanafi, Asas
- Asas Hukum Pidana Islam., 315.
[10] Ahmad Wardi
Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), 162.
[11] Ibid.
[12] Ibid., 163.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar