Pengertian Pembelajaran Konstruktivisme
Pada
dasarnya konstruktivisme mencakup proses di mana murid yang membangun kualitas
mereka sendiri (construct their own reality) atau interprestasi mereka
berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dimiliki. Lambert et.at. dalam Seefeldt
dan Foster mengemukakan pengertian konstruktivisme sebagai “theory that
learners construct meaning based upon thei previous knowledge, beliefs, and
experiences”.[1]
Konstruktivisme
dipandang sebagai filsafat yang didasarkan pada premis bahwa kita semua
membangun pemahaman kita sendiri tentang dunia melalui refleksi atas
pengalaman-pengalaman kita. Woolfolk dalam Gundokdu mendefinisikan
konstruktivisme sebagai cara mengajar dan belajar yang bertujuan meningkatkan
pemahaman murid dan sebagai suatu proses yang menekankan peran aktif murid
terhadap informasi yang lebih baik.
Pandangan
penting konstruktivisme yang berkaitan dengan proses pembelajran adalah bahwa
konstruktivisme ini mengedepakan proses daripada hasil pembelajaran.[2]
Artinya bahwa hasil belajar merupakan tujuan pembelajaran yang dianggap
penting, namun disis lain hal yang jauh lebih penting daripada itu adalah
proses belajar yang melibatkan cara maupun strategi.
Selain
itu dalam konstruktivisme ini, peserta didik tidak dipandang seperti tong
kosong yang tidak berisi apa-apa. Karena sebenarnya seorang siswa telah
memiliki pengetahuan-pengetahuan yang telah didapatkan sebelumnya, baik dari
lingkungan maupun pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Christie
dalam Giesen menerangkan bahwa konstruktivisme merupakan:[3]
1.
Metode
belajar mengajar yang menekankan pada pemahaman murid dengan memberikan peran
aktif kepada mereka.
2.
Proses
di mana guru mengadaptasi kurikulum sesuai dengan kondisi murid.
3.
Strategi
pembelajaran yang melibatkan kolaborasi antara guru, murid, dan lainnya yang
menonjolkan belajar aktif, menantang, dan otentik.
Hal ini berarti
konstruktivisme selain sebagai teori belajar yang menekankan pada pengalaman
langsung di dunia nyata, juga sebagai strategi pembelajaran yang melibatkan
semua komponen pembelajaran dalam upaya membangun dan mengembangkan pemahaman
belajar.
Selain
itu, Doolittle juga menjelaskan konstruktivisme sebagai metode pembelajaran di
mana pelajar merubah kepercayaan, meningkatkan pengetahuan, atau memasukkan
prinsip baru melalui proses kognitif mereka sendiri. Pembelajaran
konstruktivisme mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut :[4]
1.
Pembelajaran
harus dihubungkan dengan pengalaman dan konteks yang membuat keinginan dan
kesiapan murid.
2.
Pembelajaran
harus disusun sedemikian rupa sehingga dapat dnegan mudah dipahami oleh murid.
3.
Pembelajaran
harus didesain untuk memudahkan eksplorasi atau mengisi kesenjangan informasi.
Ciri
yang dapat ditemukan dalam model pembelajaran konstruktivisme adalah siswa
tidak didoktrinasi dengan pengetahuan yang disampaikan oleh guru, melainkan
siswa sendiri menemukan dan mengeksploirasi pengetahuan tersebut dengan apa
yang telah mereka ketahui dan pelajari sendiri.
Ciri-ciri pembelajaran
konstruktivisme juga diuraikan secara rinci oleh Driver dan Oldham,
diantaranya:[5]
a. Orientasi,
siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu
konsep.
b. Elicitation,
siswa diberi kesempatan untuk mendiskusikan apa yang diobservasikan dalam wujud
tulisan, gambar, atau poster.
c. Restrukturasi
ide, dalam hal ini ada tiga hal: klarifikasi ide yang dikontraskan dengan
ide-ide orang lain atau teman melalui diskusi atau pengumpulan ide, membangun
ide yang baru, dan mengevaluasi ide baru dengan eksperimen.
d. Penggunaan
ide dalam banyak situasi, idea atau
pengetahuan yang telah dibentuk oleh siswa perlu diaplikasikan pada situasi
yang dihadapi.
e. Review,
bagaimana ide itu berubah, dalam mengaplikasikan pengetahuannya seseorang perlu
merevisi gagasannya baik dengan menambahkan suatu keterangan ataupun dengan
mengubahnya menjadi lengkap.
Selanjutnya, Brooks juga mengemukakan cir-ciri
pembelajaran konstruktivis sebagai berikut:[6]
a. Kurikulum
dijelaskan dari keseluruhan ke bagian, dengan menekankan pada konsep besar.
b. Sangat
menghargai (menilai) pebelajar yang terdorong untuk bertanya.
c. Aktivitas
kurikulum sangat tergantung pada sumber-sumber data utama dan bahan-bahan
manipulatif.
d. Pebelajar
dipandang sebagai pemikir.
e. Pembelajar
secara umum bertindak dalam cara-cara interaktif, mediasi lingkungan untuk
pebelajar.
f. Pembelajar
meminta sudut pandang pebelajar saat ini untuk digunakan dalam pembelajaran.
g. Asesmen
terhadap belajar pebelajar menyatu dengan pengajaran dan terjadi melalui
pengamatan pembelajar pada pebelajar dan melalui pertunjukkan dan portofolio
pebelajar.
h. Pebelajar
bekerja dalam kelompok.
[1] STAIN Pamekasan, “Pembelajaran Konstruktivistik...”., 307.
[2] Sigit Mangun Wardoyo, Pembelajran Konstruktivisme:
Teori dan Aplikasi Pembelajran dalam Pembentukan Karakter (Bandung:
Penerbit Alfabeta, 2013), 25.
[3] STAIN Pamekasan, “Pembelajaran Konstruktivistik ...”., 308.
[4] Ibid, 309.
[5] Paul Suparno, Filsafat
Konstruktivisme dalam Pendidikan (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 18.
[6] S. Kim, The Effect
of a Constructivist Teaching Approach on Student Academic Achievement,
Self-Concept, and Learning Strategies, dalam Asean Pacific Education
Review, Vol. 6, No 1, 2005, 7-19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar