Senin, 04 Januari 2021

Model-Model Pembelajaran Konstruktivis

 Model-Model Pembelajaran Konstruktivis

Adapun beberapa contoh model pembelajaran yang berlandaskan paradigma konstruktivis,[1] yaitu:

1.      Model Pembelajaran Reasoning and Problem Solving

        Problem solving sendiri memiliki arti sebagai upaya individu atau kelompok untuk menemukan jawaban berdasarkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya. Jadi aktivitas problem solving diawali dengan konfrontasi dan berakhir apabila sebuah jawaban telah diperoleh sesuai dengan kondisi masalah yang hendak diselesaikan. Kemampuan pemecahan masalah dapat diwujudkan melalui kemampuan reasoning.

2.      Model Pembelajaran Problem-based Instruction

Problem-based Instruction adalah model pembelajaran yang berlandaskan paham konstruktivistik yang mengakomodasi keterlibatan siswa dalam belajar dan pemecahan masalah autentik.

Tahapan dalam pembelajaran berbasis  Problem-based Instruction adalah siswa diberikan suatu permasalahan, kemudian siswa membuat pertanyaan yang akan menjadi fokus pembelajaran mereka. Tahapan selanjutnya siswa mencari berbagai solusi untuk menyusun hipotesis, kemudian siswa menguji hipotesis yang telah dibuat dan terakhir membuat kesimpulan.[2]

Hal mendasar dalam penerapan model pembelajaran ini adalah siswa atau peserta didik dihadapkan pada permasalah yang harus dapat diselesaikan secara konkret agar dapat belajar bagaimana cara menyelesaikan masalah.

3.      Model Pembelajaran Perubahan Konseptual

Pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa sesungguhnya berasal dari pengetahuan yang secara spontan diperoleh dari interaksinya dengan lingkungan sekitar. Sementara pengetahuan baru didapatkan dari intervensi di sekolah yang keduanya bisa konflik, kongruen, atau masing-masing berdiri sendiri. Dalam kondisi konflik kognitif seorang siswa dihadapkan pada tiga pilihan, yaitu: (1) mempertahankan intuisinya semula, (2) merevisi sebagian intuisinya melalui proses asimilasi, (3) mengubah pandangannya  yang bersifat intuisi tersebut dan mengakomodasikan pengetahuan baru.

Perubahan konseptual terjadi ketika siswa memutuskan pada pilihan yang ketiga. Agar terjadi perubahan konseptual, belajar harus melibatkan pembangkitan dan reskrukturisasi konsepsi-konsepsi yang dibawa oleh siswa sebelum pembelajaran berlangsung. Sehingga dapat disimpulkan bahwa belajar tidak hanya transmisi pengetahuan tetapi memfasilitasi dan memediasi agar terjadi proses negosiasi makna menuju pada proses perubahan konseptual.

4.      Model Pembelajaran Grup Investigation

           Pada tahun 1916, Jhon Dewey, menulis dalam buku Democracy and Education. Dalam buku tersebut termuat gagasan Dewey tentang konsep pendidikan, bahwa kelas seharusnya merupakan cerminan masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar tentang kehidupan nyata. Gagasan Dewey tersebut kemudian diwujudkan dalam model grup-investigation yang pada kelanjutannya dikembangkan oleh Thellen. Thellen inilah yang menyatakan bahwa kelas hendaknya merupakan miniatur demokrasi yang bertujuan mengkaji-masalah-masalah sosial antar pribadi. Sehingga dapat dikatakan dalam belajar seseorang harus memiliki pasangan atau teman agar dapat saling bertukar informasi dan mengetahui wawasan lebih luas.

        Dengan pembelajran grup investigation dapt meningkatkan interaksi sosial. Munculnya interaksi sosial erat kaitannya dengan sikap ilmiah. Siswa yang memilki sikap ingin tahu, terbuka, tekun, jujur dan teliti akan membuka dirinya untuk berinteraksi sosial.[3]

5.      Model Pembelajaran Inkuiri

               Inkuiri berasal dari bahasa inggris inquiry yang berarti proses bertanya dan mencari jawaban terhadap pertanyaan ilmiah yang diajukan. Dengan kata lain, inkuiri adalah proses untuk memperoleh informasi dengan melakukan observasi dan ataupun eksperimen untuk mencari jawaban untuk mencari jawaban atas rumusan masalah dengan kemampuan berfikir kritis dan logis.

             Menurut Cleverly, terdapat beberapa langkah dalam proses pembelajaran model inkuiri ini[4], yaitu (1) Exploration tutorial, pada tahap ini siswa melakukan eksplorasi untuk menemukan sesuatu yang baru berdasarkan pemahaman awal yang telah mereka miliki; (2) Self directed learning, yakni tahapan dimana siswa belajar secara mandiri berdasarkan dari perkembangan pemahaman selama tahap eksplorasi; (3)  Review tutorial, pada tahap ini siswa mempresentasikan hasil temuannya yang didapat pada langkah sebelumnya; (4) Consolidation tutorial, pada tahapan ini siswa melakukan konsolidasi bersama dengan anggota kelompoknya terhadap apa yang telah ditemukan; (5) Plenary tutorial,  yaitu siswa merefleksikan pembelajaran individu dengan kelompok. Pada tahapan ini seorang guru yang bertindak sebagai fasilitator memberikan penguatan.



[1] Rusman, Pembelajaran Tematik Terpadu: Teori, Praktik dan Penilaian (Jakarta: Rajawali Pres, 2015), 52.

[2] Sigit Mangun Wardoyo, Pembelajaran Konstruktivisme..., 77.

[3] Istikomah dkk, “Penggunaan Model Pembelajaran Group Investigation untuk Menumbuhkan Sikap Ilmiah Siswa, Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia 6 (Januari 2010), 40.

[4] Dankey Cleverly, Impementing Inquiry-Based Learning in Nursing (New York: Routledge, 2003), 12-15. Dalam Sigit Mangun Wardoyo, Pembelajaran Konstruktivisme., 69.

Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Konstruktivis

 Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Konstruktivis

Pada umumnya suatu model pembelajaran akan selalu memiliki aspek kelebihan dan kelemahan masing-masing. Termasuk model pembelajaran konstruktivis ini. Berikut beberapa uraian mengenai kelebihan pembelajaran konstruktivis, diantaranya:

1.         Dapat membiasakan siswa belajar mandiri dalam memecahkan masalah, melatih siswa untuk berfikir inovatif, menciptakan kreatifitas untuk belajar sehingga tercipta suasana kelas yang lebih nyaman dan kreatif.

2.         Terjalin kerjasama sesama siswa.

3.         Siswa terlibat langsung dalam melakukan kegiatan pembelajaran.

4.         Dapat menciptakan pembelajaran menjadi lebih bermakna karena timbulnya kebanggan siswa menemukan sendiri konsep yang sedang dipelajari dan siswa akan bangga dengan hasil temuannya.

5.         Melatih siswa berfikir kritis dan kreatif.[1]

6.         Siswa dapat mengaplikasikan pemahaman dan pengetahuannya dalam situasi apapun atas dasar keterlibatan mereka secara aktif dalam proses pembelajaran.

7.         Siswa memiliki keterampilan untuk berinteraksi dengan masyarakat (dunia nyata), karena mereka sudah terbiasa dengan interaksi dan patisipasi di kelas dengan sesama siswa dan guru.

8.         Siswa memiliki motivasi yang tinggi untuk belajar, karena terangsang untuk menemukan pengetahuan baru.

9.         Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks, baik yang telah dikenal maupun yang baru dan akhirnya memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai strategi belajar.

10.     Pembelajaran konstruktivisme mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.

11.     Memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang benar.

Sedangkan kekurangan dalam model pembelajaran konstruktivis ini meliputi:

1.         Dalam mengkonstruksi pengetahuannya, tidak jarang bahwa hasil konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi para ahli. Hal ini dapat mengakibatkan salah pengertian atau konsep alternatif.

2.         Model pembelajaran konstruktivisme menekankan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda, apalagi bila guru berhadapan dengan kurikulum yang sudah baku, yang menuntut agar materi pelajaran harus terselesaikan. Sedangkan dalam konstruktivisme penekanan lebih menitikberatkan pada pengertian dan pembangunan sisem berfikir siswa.

3.         Model pembelajaran konstruktivisme menuntut guru yang berfikir luas dan mendalam serta peka terhadap gagasan-gagasan yang berbeda dari setiap siswa. Guru yang hanya berorientasi pada penyampaian materi akan kesulitan menerima pendapat lain dari siswa, sehingga memungkinkan siswa yang pandai dan kreatif akan menjadi penghambat, sehingga guru yang demikian akan membatasi siswa berfikir dan mengembangkan kreatifitasnya.

4.         Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama. Karena tidak semua sekolah memiliki sarana dan prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas siswa.



[1] Dian Nuramdiani, Penerapan Model Pembelajaran Konstruktivisme dengan Menggunakan Virtual Laboratory pada Materi Teori Kinetik Gas untuk Meningkatkan Keterampilan Proses SAINS dan Pemahaman Konsep Siswa, 2011, 17-19.

Pengertian Pembelajaran Konstruktivisme

 Pengertian Pembelajaran Konstruktivisme

Pada dasarnya konstruktivisme mencakup proses di mana murid yang membangun kualitas mereka sendiri (construct their own reality) atau interprestasi mereka berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dimiliki. Lambert et.at. dalam Seefeldt dan Foster mengemukakan pengertian konstruktivisme sebagai “theory that learners construct meaning based upon thei previous knowledge, beliefs, and experiences”.[1]

Konstruktivisme dipandang sebagai filsafat yang didasarkan pada premis bahwa kita semua membangun pemahaman kita sendiri tentang dunia melalui refleksi atas pengalaman-pengalaman kita. Woolfolk dalam Gundokdu mendefinisikan konstruktivisme sebagai cara mengajar dan belajar yang bertujuan meningkatkan pemahaman murid dan sebagai suatu proses yang menekankan peran aktif murid terhadap informasi yang lebih baik.

Pandangan penting konstruktivisme yang berkaitan dengan proses pembelajran adalah bahwa konstruktivisme ini mengedepakan proses daripada hasil pembelajaran.[2] Artinya bahwa hasil belajar merupakan tujuan pembelajaran yang dianggap penting, namun disis lain hal yang jauh lebih penting daripada itu adalah proses belajar yang melibatkan cara maupun strategi.

Selain itu dalam konstruktivisme ini, peserta didik tidak dipandang seperti tong kosong yang tidak berisi apa-apa. Karena sebenarnya seorang siswa telah memiliki pengetahuan-pengetahuan yang telah didapatkan sebelumnya, baik dari lingkungan maupun pengalaman-pengalaman sebelumnya.

Christie dalam Giesen menerangkan bahwa konstruktivisme merupakan:[3]

1.    Metode belajar mengajar yang menekankan pada pemahaman murid dengan memberikan peran aktif kepada mereka.

2.    Proses di mana guru mengadaptasi kurikulum sesuai dengan kondisi murid.

3.    Strategi pembelajaran yang melibatkan kolaborasi antara guru, murid, dan lainnya yang menonjolkan belajar aktif, menantang, dan otentik.

Hal ini berarti konstruktivisme selain sebagai teori belajar yang menekankan pada pengalaman langsung di dunia nyata, juga sebagai strategi pembelajaran yang melibatkan semua komponen pembelajaran dalam upaya membangun dan mengembangkan pemahaman belajar.

Selain itu, Doolittle juga menjelaskan konstruktivisme sebagai metode pembelajaran di mana pelajar merubah kepercayaan, meningkatkan pengetahuan, atau memasukkan prinsip baru melalui proses kognitif mereka sendiri. Pembelajaran konstruktivisme mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut :[4]

1.    Pembelajaran harus dihubungkan dengan pengalaman dan konteks yang membuat keinginan dan kesiapan  murid.

2.    Pembelajaran harus disusun sedemikian rupa sehingga dapat dnegan mudah dipahami oleh murid.

3.    Pembelajaran harus didesain untuk memudahkan eksplorasi atau mengisi kesenjangan informasi.

Ciri yang dapat ditemukan dalam model pembelajaran konstruktivisme adalah siswa tidak didoktrinasi dengan pengetahuan yang disampaikan oleh guru, melainkan siswa sendiri menemukan dan mengeksploirasi pengetahuan tersebut dengan apa yang telah mereka ketahui dan pelajari sendiri.

Ciri-ciri pembelajaran konstruktivisme juga diuraikan secara rinci oleh Driver dan Oldham, diantaranya:[5]

a.    Orientasi, siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu konsep.

b.    Elicitation, siswa diberi kesempatan untuk mendiskusikan apa yang diobservasikan dalam wujud tulisan, gambar, atau poster.

c.    Restrukturasi ide, dalam hal ini ada tiga hal: klarifikasi ide yang dikontraskan dengan ide-ide orang lain atau teman melalui diskusi atau pengumpulan ide, membangun ide yang baru, dan mengevaluasi ide baru dengan eksperimen.

d.    Penggunaan ide dalam banyak situasi, idea atau pengetahuan yang telah dibentuk oleh siswa perlu diaplikasikan pada situasi yang dihadapi.

e.    Review, bagaimana ide itu berubah, dalam mengaplikasikan pengetahuannya seseorang perlu merevisi gagasannya baik dengan menambahkan suatu keterangan ataupun dengan mengubahnya menjadi lengkap.

Selanjutnya, Brooks juga mengemukakan cir-ciri pembelajaran konstruktivis sebagai berikut:[6]

a.    Kurikulum dijelaskan dari keseluruhan ke bagian, dengan menekankan pada konsep besar.

b.    Sangat menghargai (menilai) pebelajar yang terdorong untuk bertanya.

c.    Aktivitas kurikulum sangat tergantung pada sumber-sumber data utama dan bahan-bahan manipulatif.

d.    Pebelajar dipandang sebagai pemikir.

e.    Pembelajar secara umum bertindak dalam cara-cara interaktif, mediasi lingkungan untuk pebelajar.

f.     Pembelajar meminta sudut pandang pebelajar saat ini untuk digunakan dalam pembelajaran.

g.    Asesmen terhadap belajar pebelajar menyatu dengan pengajaran dan terjadi melalui pengamatan pembelajar pada pebelajar dan melalui pertunjukkan dan portofolio pebelajar.

h.    Pebelajar bekerja dalam kelompok.



[1] STAIN Pamekasan, “Pembelajaran Konstruktivistik...”., 307.

[2] Sigit Mangun Wardoyo, Pembelajran Konstruktivisme: Teori dan Aplikasi Pembelajran dalam Pembentukan Karakter (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2013), 25.

[3] STAIN Pamekasan, “Pembelajaran Konstruktivistik ...”., 308.

[4] Ibid, 309.

[5] Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 18.

[6] S. Kim, The Effect of a Constructivist Teaching Approach on Student Academic Achievement, Self-Concept, and Learning Strategies, dalam Asean Pacific Education Review, Vol. 6, No 1, 2005, 7-19.

Sejarah Konstruktivisme

Sejarah Konstruktivisme

Konstruktivisme adalah suatu pandangan epistimologis tentang pemerolehan pengetahuan pengetahuan yang menekankan pada upaya membangun pengetahuan daripada transmisi pengetahuan. Menurut Cooper, konstruktivisme menjadi paradigma yang paling berpengaruh selama dua dekade yang terakhir pada abad ke-20.[1]

Konstruktivisme sebenarnya bukan teori baru. Aspek-aspek dari konstruktivisme dapat ditemukan dalam hasil kerja Socrates, Plato, dan Aristoteles sekitar tahun 470-320. Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, konstruktivisme menjadi sangat populer seiring dengan munculnya teori Piaget dan teori Vygotsky yang didukung pula oleh beberapa teori dalam psikologi kognitif. Konstruktivisme sendiri pada saat ini sangat populer tidak hanya dalam bidang pendidikan, melainkan hingga bidang psikologi perkembangan, ilmu sosial, psychology of gender, dan teknologi komputer.[2]

Konstruktivisme lahir dari gagasan Piaget dan Vygotsky. Keduanya menekankan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami sebelumnya diolah melalui suatu proses disequilibrium dalam memahami informasi-informasi baru. Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan merupakan hasil konstruksi kognitif melalui aktivitas seseorang. Doolittle & Camp (1999) mengemukakan bahwa konstruktivisme dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu :

1.         Konstruktivisme Kognitif (ahlinya : Anderson, Mayer, dll.)

        Konstruktivisme kognitif hanya menekankan pada dua prinsip yang pertama dari konstruktivisme, yaitu perolehan pengetahuan merupakan proses adaptif dan hasil keaktifan kognisi individu pelajar. Dalam posisi konstruktivisme kognitif, pengetahuan merupakan hasil dari internalisasi dan rekonstruksi secara akurat dari kenyataan eksternal. Hasil dari proses internalisasi ini merupakan proses kognitif dan struktur yang secara akurat berkorespondensi dengan proses-proses dan struktur yang terdapat dalam dunia nyata.

2.    Konstruktivisme Radikal (ahlinya : Piaget, Von Glaserveld)

Von Glaserveld (1992) mengemukakan bahwa prinsip dasar konstruktivisme radikal muncul sangat jelas jika seseorang mencoba mengkaji sebanyak mungkin tulisan Piaget dalam suatu teori koheren, antara lain :

a.   Pengetahuan tidak diterima secara pasif melalui indra atau dengan cara komunikasi, melainkan dibangun secara aktif oleh kognisi subjek.

b.      Fungsi kognisi adalah adaptif (cenderung ke arah kelangsungan hidup).

c.      Kognisi melayani organisasi subjek dari dunia pengalaman, bukan penemuan dari suatu realitas ontologis objektif.

3.    Konstruktivisme Sosial (ahlinya : Vygotsky, Cobb)

Konstruktivisme sosial menekankan pada semua (keempat) epistemologis. Epistemologis ini memberi penekanan yang mengarahkan untuk mendefinisikan prinsip-prinsip yang mempertahankan sifat sosial dari pengetahuan, dan percaya bahwa pengetahuan merupakan hasil dari penggunaan interaksi sosial dan bahasa interaksi sosial ini selalu terjadi di antara konteks sosial budaya, menghasilkan pengetahuan terbatas pada waktu dan tempat khusus.

Pengetahun dipandang sebagai hasil konstruksi sosial. Setiap individu mungkin saja mengkonstruksi pengetahuan menurut pikiran dan pengalamannya (formulasi individu). Proses konstruksi ini menghasilkan pengtahuan yang bersifat subjektif. Interaksi sosial dan proses negosiasi sosial antar individu ataupun kelompok diperlukan untuk mengubah pengetahuan yang bersifat subjektif tersebut menjadi pengetahuan yang baru bersifa objektif. Pengetahuan baru ini selanjutnya direpresentasikan dan dirumuskan kembali oleh individu (personal reformulation). Konstruktivisme sosial menhubungkan pengetahuan subjektif dan pengetahuan objektif dalam skill semacam ini.

Konstruktivisme menjelaskan bahwa salah satu sarana yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah indera yang berinteraksi dengan objek dan lingkungan. Para konstruktivis adalah diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari guru ke murid, melainkan murid sendiri yang harus mengartikan apa yang diajarkan oleh guru berdasarkan pengalaman-pengalaman yang ia dapat sebelumnya.



[1] STAIN Pamekasan, “Pembelajaran Konstruktivistik Dalam Pendidikan Islam: Sebuah Pilihan Pembelajaran Aktif Bagi Mahasiswa STAIN Pamekasan”, dalam Tadris Jurnal Pendidikan Islam Vol. 6, No. 2 (Desember 2011), 306.

[2] T.G. Ratumanan, Inovasi Pembelajaran: Mengembangkan Kompetensi peserta didik secara optimal (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015), 118- 121.

SOAL LATIHAN OLIMPIADE PAI MATERI AL-QUR'AN HAITS TINGKAT SMP/MTs - 2

  Berdoalah sebelum belajar, semoga Allah memberi kemudahan dalam memahami materi   1.       Perhatikan QS Al-Mujadilah/58: 11 berikut i...